JUAL BELI YANG DIHARAMKAN
Oleh Prof. Dr. Abdullah al-Mushlih & Prof. Dr. Shalah ash-Shawi
1. Menjual tanggungan dengan tanggungan
Menjual tanggungan dengan tanggungan yakni menjual hutang dengan hutang.
Telah diriwayatkan larangan terhadap menjual tanggungan dengan tanggungan dalam sunnah Nabi yang suci. Dalam hadits Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menjual tanggungan dengan tanggungan. (Dikeluarkan oleh ath-Thahawi dalam Syarhul Ma”ani IV: 21, dan juga dalam Musykilul Atsar nomor 795. Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni III:71, juga oleh al-Hakim II:57, dan oleh al-Baihaqi V: 290 dengan sanad yang lemah, karena lemahnya Musa bin Ubaidah ar-Rubadzi. Al-Hafizh Ibnu Hajar menukil dalam at-Talkhish III:26, dari Imam Ahmad: “Dalam masalah ini tidak ada hadits shahih. Akan tetapi ijma” kaum muslimin adalah bahwa menjual hutang dengan hutang tidak boleh.” Sementara Imam ath-Thahawi menyatakan: “Ahlul hadits menafsirkan hadits ini dengan riwayat Abu Musa bin Ubaidah, meskipun mengandung kekurangan dalam sanadnya. Ini merupakan bab besar dalam ilmu fiqih.” Lihat Musykilul Atsar II: 266.)
Menjual hutang dengan hutang memiliki aplikasi yang bermacam-macam. Jenis yang disyariatkan terkadang sulit dibedakan dengan yang tidak disyariatkan. Tampaknya persoalan ini amat dibutuhkan sekali untuk dirinci. Penulis menegaskan:
Hutang yang dijual itu tidak lepas dari keberadaannya seba-gai pembayaran yang ditangguhkan, barang dagangan tertentu yang diserahkan secara tertunda, atau barang dagangan yang di-gambarkan kriterianya dan akan diserahkan juga secara tertunda. Masing-masing dari aplikasi itu memiliki hukum tersendiri. Berikut penjelasannya:
Aplikasi Pertama: Menjual harga yang ditangguhkan dengan pembayaran yang ditangguhkan juga.
Di antaranya adalah menggugurkan apa yang ada pada tanggungan orang yang berhutang dengan jaminan nilai tertentu yang pengambilannya ditangguhkan dari waktu pengguguran. Itu adalah bentuk yang disebut “Silakan tangguhkan pembayaran hutangmu, tapi tambah jumlahnya”. Itu merupakan bentuk riba yang paling jelas dan paling jelek sekali.
Contoh lain penukaran dua hutang uang yang keduanya adalah ditangguhkan. Menurut semua ulama dalam masalah hukum sharf bahwa kalau uang dijual dengan uang yang sama jenisnya, harus dipenuhi dua syarat: Keduanya harus sama nilai-nya dan harus diserahterimakan secara langsung. Namun bila dijual dengan jenis lain, hanya ada keharusan serahterima secara langsung saja, ketidaksamaan nilai dibolehkan. Serahterima secara langsung merupakan syarat sahnya jual beli Money Changer dalam segala kondisi. Karena dalam aplikasi ini syarat tersebut tidak ada, maka jelas perjanjian ini tidak diragukan lagi adalah batal.
Aplikasi Kedua: Menjual harga yang ditangguhkan dengan Barang Dagangan Tertentu yang Juga Diserahterimakan Secara Tertunda
Bentuk aplikasinya adalah bila seseorang menjual piutang-nya kepada orang yang punya hutang dengan barang dagangan tertentu (mobil misalnya) yang akan diterimanya secara tertunda. Cara ini tentu saja mirip dengan kisah Nabi yang membeli unta dari Jabir, dan Jabir meminta kepada Nabi untuk menyerahkan untanya itu di kota Al-Madinah. Dan Rasulullah juga akan mem-bayarkan nanti bila sampai di Al-Madinah. Transaksi itu terjadi pada salah satu perjalanan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam . Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam kitab al-Buyu”, bab: Ad-Dawab nomor 2097. Diriwayatkan oleh Muslim dalam al-Musaqat, bab: Menjual Unta dan Meminta Tetap Mengendarainya Sementara.
Aplikasi Ketiga: Menjual harga yang ditangguhkan dengan Barang yang Digambarkan Kriterianya dan Diterima Secara Ter-tunda
Bentuk aplikasinya adalah seseorang memiliki piutang atas seseorang secara tertunda, lalu ia membeli dari orang yang dihu-tanginya barang yang digambarkan kriterianya (sekarung beras misalnya) dan diterima secara tertunda pula. Ini termasuk bentuk jual beli as-Salm. Kalau orang yang berhutang rela untuk menye-gerakan pembayaran yang menjadi tanggungannya, dan menjadi-kannya sebagai pembayaran pesanan itu, maka ini boleh-boleh saja. Karena bentuk aplikasi ini sudah memenuhi persyaratan jual beli as-salm yang termasuk di antara salah satu persyaratannya yang paling mengikat adalah: disegerakannya pembayaran harga modal. Karena yang berada dalam kepemilikan sama halnya dengan yang ada di tangan. Namun kalau orang yang berhutang tidak mau kalau menyegerakan pembayaran hutangnya yang menjadi tanggungannya dan dijadikannya sebagai pembayaran as-Salm, maka bentuk aplikasi jual beli ini tidak sah, karena salah satu syarat jual beli as-Salm tidak terpenuhi, yakni penyegeraan pem-bayaran modal barang.
Aplikasi Keempat: Menjual Barang yang Digambarkan Kriterianya Secara Tertunda dengan Barang yang Digambarkan Kriterianya Secara Tertunda Pula
Bentuk aplikatifnya adalah seseorang menjual sejumlah mobil yang digambarkan kriterianya dan diserahkan secara ter-tunda dengan sejumlah Freezer yang juga digambarkan kriterianya dan diserahkan secara tertunda pula. Bentuk aplikasi jual beli ini ada dua kemungkinan:
Dilaksanakan transaksinya seperti jual beli as-Salm. Bila demikian, maka tidak boleh, karena salah satu dari syarat jual beli As-Salm tidak terpenuhi, yakni pembayaran uang di muka.
Dilakukan akad dengan bentuk seperti kontrak, dalam hal ini tampaknya tidak ada masalah bagi mereka yang berpendapat bahwa kontrak adalah bentuk akad jual beli tersendiri, tidak ada persyaratan harus ada pembayaran di muka dalam lokasi transaksi.
Mirip dengan bentuk aplikasi ini, apa yang disebutkan Abu Ubaid ketika ia menggambarkan jual beli tanggungan dengan tanggunan. Ia berkata: Gambarannya yaitu: seseorang menyerah-kan beberapa dirham untuk membeli makanan yang diserahkan secara tertunda. Kalau datang waktunya, orang yang harus menyerahkan makanan berkata: “Saya tidak mempunyai makanan. Jual saja lagi makanan yang seharusnya kuberikan itu kepadaku dengan pembayaran tertunda.” Yang demikian itu pembayaran tertunda yang berbalik menjadi pembayaran tertunda lain. Kalau makanan itu sudah diserahkan dan dijual kepada orang lain, baru uangnya diserahkan, bukanlah termasuk menjual tanggungan de-ngan tanggungan.
2. Jual Beli dan Syarat
Syariat Islam yang suci telah memerintahkan ditunaikannya janji dengan komitmen yang menjadi persyaratan janji tersebut, kecuali apabila syarat itu berbentuk menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, tunaikanlah akad-akad kalian..” (Al-Maidah: 1).
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kaum muslimin selalu terikat dengan persyaratan (perjanjian) sesama mereka, terkecuali persyaratan yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.” Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi 1353. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah 2353. Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni III:27. Diriwayatkan juga oleh al-Baihaqi VI:79. Sanadnya lemah sekali karena adanya Katsier bin Abdullah, dishahihkan oleh at-Tirmidzi. Karena hadits ini sesuai dengan dasar-dasar ilmu hadits dan dinyatakan hasan oleh al-Bukhari. Dinukil oleh at-Tirmidzi dari perawi yang sama
Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda: “Setiap persyaratan yang tidak ada dalam Kitabullah, maka itu batil.” Hadits ini akan disebutkan nanti dalam kisah Barirah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim
Umar bin Khatthab menyatakan, “Denyut hukum itu ada pada persyaratannya..” Diriwayatkan juga larangan terhadap menjual dengan “dua syarat” dari hadits Amru bin Syu”aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi a melarang dua syarat dalam jual beli.” Diriwayatkan oleh Abu Daud 3504. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi 1234, dan beliau menyatakan: Hasan shahih
Para ulama telah membagi persyaratan dalam berbagai transaksi jual beli kepada persyaratan yang disyariatkan dan yang tidak disyariatkan. Sebelumnya telah penulis jelaskan dalam pem-bahasan ini keunggulan pendapat bahwa asal dari aktivitas jual beli dan syaratnya adalah mubah, sebelum ada dalil yang meng-haramkannya. Oleh sebab itu penulis di sini cukup menyebutkan syarat-syarat yang tidak disyariatkan. Selain dari itu, berarti dalam kondisi aslinya, yakni dibolehkan.
Kalangan Malikiyah memahami larangan dalam hadits ten-tang menjual dengan syarat, ( Dikeluarkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath 4361. Diriwayatkan juga oleh al-Hakim dalam Ulumul Hadits 128, yakni hadits yang amat kacau sekali. Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa hadits itu adalah batil dalam Majmu” al-Fatawa VIII: 63.) bahwa syarat di situ adalah yang bertentangan dengan konsekuensi jual beli atau yang menyebab-kan rusaknya harga jual.
Syarat bertentangan dengan konsekuensi perjanjian itu adalah seperti seorang penjual mensyaratkan terhadap pembeli agar tidak menjual kembali dagangannya itu kepada orang lain, atau agar si pembeli tidak mengenakan barang beliannya itu, atau agar ia tidak mengendarainya, tidak meninggalinya dan tidak menyewakannya. Atau bila si pembeli menjual kembali barangnya itu, maka si penjual yang lebih berhak mengambil keuntungan-nya. Para ulama mengecualikan sebagian bentuk aplikasinya yang kemudian mereka bolehkan, seperti menjual budak wanita dengan syarat harus dibebaskan, karena ajaran syariat memang mengi-nginkan sekali budak wanita itu dibebaskan. Atau seorang penjual yang memberi persyaratan agar objek jualan itu diwakafkan, dihibahkan atau disedekahkan. Karena itu termasuk amal keba-jikan yang dianjurkan oleh Islam.
Kemudian syarat yang menyebabkan rusaknya harga adalah seperti persyaratan dari salah satu pihak untuk meminjam objek jualan. Karena hal itu dapat menyebabkan ketidakjelasan harga barang, atau bisa juga menggiring kepada semacam riba, bila dili-hat dari sisi pinjaman yang mendatangkan keuntungan. Karena penentuan harga menjadi tidak adil karena pertimbangan pemin-jaman barang tersebut. Kalau syarat peminjaman itu dari pembeli, jelas itu merusak harga, karena menyebabkan ketidakjelasan harga barang karena bertambah. Peminjaman barang itu sendiri termasuk harga yang tidak diketahui. Kalau seandainya persya-ratan peminjaman itu berasal dari penjual, itu juga menyebabkan rusaknya harga karena terjadinya pengurangan. Karena pemin-jaman yang dilakukan oleh penjual itu masuk dalam harga yang tidak diketahui.
Sementara kalangan Hambaliyah menafsirkan syarat yang dilarang itu sebagai syarat yang bertentangan dengan konsekuensi perjanjian, atau persyaratan yang menghilangkan konsekuensi-nya. Atau persyaratan yang menyebabkan jual beli menjadi ter-gantung.
Syarat yang bertentangan dengan konsekuensi perjanjian adalah sebagaimana telah dicontohkan di atas, seorang penjual yang memberi syarat kepada pembeli agar tidak menjual, mem-berikan, membebaskan barang jualannya, dan sejenisnya. Yakni segala persyaratan yang menghalangi pembeli untuk secara bebas menggunakan hasil beliannya.
Sementara syarat yang melenyapkan konsekuensi perjanjian adalah seperti seorang pelaku memberi persyaratan kepada pihak lain sebuah bentuk perjanjian tersendiri lagi, seperti perjanjian jual beli, perjanjian as-Salm, perjanjian peminjaman, penyewaan, kerjasama dan sejenisnya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sudah melarang hal itu. Beliau melarang kita melakukan dua perjanjian jual beli dalam satu transaksi jual beli.
Adapun syarat yang membuat jual beli menjadi tergantung misalnya ucapan penjual, “Saya jual barang ini kepadamu, kalau si Fulan ridha.” Atau ucapan pembeli, “Saya akan beli barang ini, kalau si Fulan sudah datang.” Kedua macam transaksi jual beli itu tidak sah menurut kalangan Hambaliyah. Karena konsekuensi jual beli adalah pemindahan kepemilikan pada saat akad, sementara dengan adanya persyaratan demikian, tentu saja tidak mungkin.
Lain lagi dengan kalangan Hanafiyah, mereka menafsirkan larangan syarat dalam jual beli itu, bahwa yang dimaksudkan dengan syarat adalah syarat yang bukan termasuk bagian perjan-jian, atau tidak relevan dengan perjanjian namun bermanfaat bagi salah satu pihak pelaku, bagi orang lain, atau bagi kepentingan objek perjanjian tersebut yang menjadi milik orang yang berhak, sementara kebiasaan tidak berjalan demikian, dan syariat juga tidak mengizinkannya.
Berkaitan dengan syarat demi kepentingan salah satu pihak yang bertransaksi mereka memberi contoh seperti menjual rumah dengan syarat si penjual boleh meninggalinya selama sebulan, atau menjual tanah dengan syarat si penjual boleh menanaminya selama setahun, atau menjual mobil dengan syarat si penjual bo-leh mengendarainya selama satu minggu, dan sejenisnya.
Syarat demi kepentingan orang lain, seperti menjual ha-laman luas dengan syarat boleh dibangun masjid di atasnya, atau menjual makanan agar si pembeli menyedekahkannya.
Sementara syarat demi kepentingan objek perjanjian itu sendiri adalah seperti menjual budak wanita untuk dibebaskan, meskipun persoalan ini masih diperdebatkan di kalangan Hana-fiyah sendiri. Mereka menganggap manfaat atau kepentingan itu sebagai bagian dari riba, karena merupakan syarat tambahan da-lam sebuah perjanjian yang tidak diberi kompensasi. Itu sama dengan riba, atau paling tidak menyerupainya.
Berkaitan dengan syarat demi kepentingan objek perjanjian itu mereka mengecualikan yang sudah menjadi kebiasaan, seperti membeli pakaian dengan syarat ditambal bagiannya yang robek, atau membeli topi dengan syarat dibuatkan pengikatnya, karena itu sudah menjadi kebiasaan. Mereka juga mengecualikan yang disahkan dalam ajaran syariat melalui dalil, seperti persyaratan pembayaran tertunda, syarat hak pilih dan sejenisnya, karena Islam telah membolehkan semua persyaratan tersebut.
Yang paling tepat menurut kami setelah memaparkan selu-ruh pendapat ini bahwa syarat yang bertentangan dengan konse-kuensi perjanjian jual beli adalah syarat yang rusak, seperti syarat agar barang yang dijual belikan tidak boleh dijual lagi, tidak boleh dihibahkan dan sejenisnya. Atau syarat yang bertentangan dengan konsekuensi ajaran syariat, seperti yang menggiring kepada per-buatan menghalalkan yang haram, atau menyebabkan harga barang menjadi tidak jelas, atau penggandaan jumlah transaksi, atau persyaratan adanya perjanjian lain seperti penjualan, penyewaan, peminjaman dan lain-lain. Adapun syarat demi kepentingan ter-tentu, pihak Hanafiyah sendiri mengatakan bahwa persoalan ini masih perlu diselidiki kembali, karena adanya hadits Jabir yang menceritakan bahwa ia pernah menjual untanya kepada Nabi dengan persyaratan tetap mengendarainya hingga sampai ke kota Madinah.
3. Dua Perjanjian Dalam Satu Transaksi Jual Beli
Membuat dua perjanjian dalam satu transaksi jual beli merupakan hal yang dilarang dalam syariat. Diriwayatkan adanya sejumlah dalil yang melarang perbuatan tersebut. Diriwayatkan oleh Ahmad dan at-Tirmidzi dari hadits Abu Hurairah tentang larangan Rasulullah terhadap hal tersebut.
Hadits Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diriwayatkan bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa yang melakukan dua perjanjian jual beli dalam satu transaksi jual beli, maka hendaknya ia mengambil yang paling sedikit, kalau tidak ia telah mengambil riba.”
Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya dari Hadits Ibnu Mas”ud bahwa ia menceritakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang adanya dua perjanjian dalam satu transaksi.”
Dalam riwayat lain disebutkan, “Tidaklah pantas melakukan dua perjanjian dalam satu transaksi.”
Para ulama berbeda pendapat tentang arti dari dua per-janjian tersebut. Ada beberapa pendapat yang kita lampirkan di bawah ini:
1. Artinya adalah jual beli dengan dua harga, kontan dan kredit dengan harga lebih mahal. Tambahan harga dengan men-jual barang secara tertunda pembayarannya namun lebih mahal dari harga sekarang, diriwayatkan dari Zainal Abidin bahwa beliau menyatakan keharamannya. Yakni keharaman menjual se-suatu lebih mahal dari harga sekarang dengan pembayaran ter-tunda. Penafsiran semacam ini telah dibantah oleh mayoritas ulama. Namun bentuk jual beli semacam ini, menurut pendapat yang benar dari dua pendapat yang ada, adalah disyariatkan.
2. Penjualan dengan dua harga, kontan dan kredit, dan harga kredit atau tertundanya lebih mahal, namun tidak dijelaskan. Misalnya seorang penjual berkata, “Kalau kontan bisa sekian har-ganya, dan kalau dibayar belakangan atau dibeli kredit bisa sekian.” Kemudian kedua orang itu berpisah (dari majlis) dengan ketidak-jelasan, tanpa menentukan salah satunya.
Alasan dilarangnya bentuk jual beli ini ada dua hal :
Pertama: Ketidakjelasan dan ketidakstabilan harga.
Kedua: Ada kemungkinan terjadinya riba, karena yang demikian itu berarti ia memindahkan kepemilikan dengan pembayaran satu dinar secara kontan dan dengan dua dinar bila dibayar secara tertunda. Dan yang pasti menjadi miliknya adalah salah satu dari keduanya. Jadi seolah-olah yang menjadi miliknya adalah satu dinar secara kontan, lalu ia tangguhkan pembayarannya sehingga berubah menjadi dua dinar. Atau yang menjadi kewajibannya adalah dua dinar secara tertunda, lalu ia segerakan pembayarannya sehingga berubah menjadi satu dinar saja.
3. Menjual sesuatu dengan pembayaran tertunda, kemudian membelinya kembali dengan pembayaran kontan dengan harga lebih murah dari harga pertama. Jual beli ini disebut juga dengan jual beli ‘inah. Termasuk salah satu jenis jual beli yang menjadi fasilitator riba. Karena tujuannya sebenarnya adalah meminjami uang dengan dibayar uang berikut tambahan, sedangkan barang dagangan hanya dijadikan mediator semata untuk melegali-sasikan bunga tersebut. Ibnul Qayyim menyatakan dalam Tahdzib as-Sunan, “Arti hadits yang menyebutkan (diharamkannya) dua transaksi dalam satu aktivitas jual beli adalah satu arti saja, tidak ada lagi pengertian selain itu. Yaitu yang relevan dengan sabda Nabi yang melarang seseorang menjual sesuatu dengan pemba-yaran tertunda, lalu membelinya lagi secara kontan dengan harga lebih murah dari harga pertama. Ia hanya berhak mengambil harga yang termurah dari keduanya, karena selebihnya adalah riba. Ia bisa mengambil harga yang lebih besar, dan itu adalah riba. Atau mengambil harga yang terendah, yakni harga pertama. Bisa juga artinya adalah menjual uang secara kontan dengan pem-bayaran secara tertunda dengan jumlah lebih banyak. Yang berhak ia ambil hanya uang yang menjadi modalnya saja. Mereka yang berpendapat tentang haramnya jual beli ‘inah akan menyatakan bahwa jual beli itu selain haram juga merusak, kalau betul-betul dilakukan. Dan kalau itu dilakukan dengan kesepakatan, bukan karena faktor kebetulan, maka jual beli itu batal, berdasarkan kesepakatan para ulama.
4. Arti dua perjanjian dalam satu aktivitas jual beli adalah memberikan syarat sebuah perjanjian lain dalam satu transaksi jual beli yang berlangsung. Misalnya si penjual mengatakan, “Saya akan menjual rumah ini kepadamu dengan harga sekian dengan syarat engkau menjual mobilmu kepadaku dengan harga sekian. Tak ada bedanya apakah ditentukan harga dan barang yang dimaksud dalam perjanjian kedua ataupun tidak. Karena kedua bentuk perjanjian itu tergabung dalam satu perjanjian jual beli, dan itu dilarang. Perbuatan itu termasuk dalam larangan umum tentang melakukan dua perjanjian dalam satu aktivitas jual beli.
Aplikasi jual beli semacam ini harus dibedakan dengan menjual dua jenis barang dengan satu harga, seperti menjual mobil dan rumah dengan harga satu juta dinar misalnya. Atau menjual satu barang dengan mobil ditambah seribu dolar. Yang demikian itu tidak termasuk melakukan dua perjanjian dalam satu aktivitas jual beli, dan bahkan ini boleh dengan kesepakatan.
5. Memesan barang berjangka dengan serah terima tertunda. Bila telah jatuh tempo, barang itu kembali dijual kepadanya secara berjangka pula dengan harga lebih. Penjualan kedua ini termasuk dalam jual beli pertama. Maka harus dikembalikan kepada yang paling sedikit keuntungannya, yakni penjualan pertama. Jual beli semacam ini dilarang menurut kesepakatan para ulama.
4. Menjual Barang Yang Masih Dalam Proses Transaksi Dengan Orang Atau Menawar Barang yang Masih Di-tawar Orang Lain
Di antara bentuk jual beli yang dilarang yakni apabila sese-orang menjual sesuatu yang masih dalam proses transaksi dengan orang lain, atau menawar barang yang masih ditawar orang lain.
Di antara bentuk aplikatif menjual sesuatu dalam transaksi orang lain misalnya: Ada dua orang yang berjual beli dan sepakat pada satu harga tertentu. Lalu datang penjual lain dan mena-warkan barangnya kepada pembeli dengan harga lebih murah. Atau menawarkan kepada si pembeli barang lain yang berkualitas lebih baik dengan harga sama atau bahkan lebih murah. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa itu adalah per-buatan dosa bila aplikasinya demikian, karena dapat menyebab-kan ketidaksenangan orang lain dan membahayakannya. Selain juga karena ada larangan tegas terhadap perbuatan itu dari Sunnah Nabi yang shahih.
Bentuknya yang lain misalnya seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dari Sabda Rasulullah, “Tidak sah menjual sesuatu dalam transaksi orang lain.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Janganlah seseorang melakukan transaksi penjualan dalam transaksi orang lain. Dan janganlah seseorang meminang wanita yang masih dipinang oleh orang lain, kecuali bila mendapatkan izin dari pelaku transaksi atau peminang pertama.”
Sementara dalam riwayat an-Nasai disebutkan, “Janganlah seseorang menjual dalam transaksi orang lain, se-hingga ia membelinya atau meninggalkan transaksi tersebut.”
Dengan alasan itulah mayoritas ulama memilih pendapat haramnya bentuk-bentuk jual beli semacam itu, bahkan meng-anggapnya sebagai kemaksiatan.
Parameter Keharaman Bentuk-bentuk Jual Beli di Atas
Transaksi di atas transaksi tersebut terjadi sebelum terlak-sananya transaksi pertama. Kalau transaksi kedua terjadi setelah terlaksananya transaksi pertama, sementara si pembeli tidak mungkin membatalkan transaksi tersebut, tidak ada larangan da-lam hal ini, karena masalah tersebut tidak menimbulkan bahaya.
Transaksi jual beli itu tanpa seizin penjual pertama. Kalau penjual pertama mengizinkannya, tidak menjadi masalah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “…kecuali bila penjual pertama atau peminang pertama mengizinkannya.”
Selain jual beli, yang diharamkan dengan bentuk transaksi tersebut juga sewa menyewa, pinjam meminjam, peminjaman modal, musaqat, muzara”ah dan lain sebagainya. Kesemuanya tidak sah dilakukan bila telah didahului transaksi lain, diqiyaskan dengan jual beli, karena semuanya mengandung unsur menyakiti.
5. Menawar Barang yang Sedang Ditawar Orang Lain
Adapun menawar barang yang masih ditawar orang lain, yakni seperti dua pihak yang melakukan transaksi jual beli lalu sama-sama sepakat pada satu harga tertentu, lalu datang pembeli lain yang menawar barang yang menjadi objek transaksi mereka dengan harga lebih mahal, atau dengan harga yang sama, hanya saja karena ia orang yang berkedudukan, maka si penjual lebih cenderung menjual kepada orang itu, karena melihat kedudukan orang kedua tersebut.
Kalau kedua orang itu saling tawar menawar, lalu terlihat indikasi bahwa keduanya tidak bisa menyepakati satu harga, tidak diharamkan untuk menawar barang transaksi mereka. Namun kalau belum kelihatan apakah mereka telah memiliki kesepakatan harga atau tidak, penawaran dari pihak pembeli lain untuk sementara ditahan. Demikian juga menurut kalangan Hambaliyah, perlu dibuktikan terlebih dahulu adanya kesepakatan mereka, agar se-mua pihak merasa senang. Namun menurut kalangan Hanafiyah, hal itu tidak mengapa. Boleh-boleh saja melakukan penawaran dengan harga lebih sekalipun, karena itu termasuk jual beli yang disebut lelang. Hal itu tidak dilarang.
Dengan terbuktinya keharaman bentuk-bentuk jual beli ter-sebut di atas, namun menurut para ulama jual beli tersebut tetap sah, karena larangan itu kembali kepada hal di luar pengertian transaksi dan berbagai komitmennya. Karena jual beli tersebut tetap tidak kehilangan satupun dari rukun-rukunnya, atau salah satu dari syarat-syarat sahnya. Larangan itu terhadap hal yang berkaitan dengan transaksi tetapi berada di luar substansi tran-saksi tersebut dan komitmen-komitmennya. Itu termasuk per-buatan yang mengganggu orang lain, namun tidak membatalkan transaksi menurut mayoritas ulama.
Pelelangan
Dari larangan terhadap penawaran barang yang masih dalam penawaran orang lain, dikecualikan sejenis jual beli yang disebut pelelangan. Pelelangan itu boleh berdasarkan ijma/konsensus kaum muslimin. Pelelangan adalah penawaran barang di tengah keramaian. Lalu para pembeli saling menawar dengan harga tertinggi, sampai kepada batas harga tertinggi yang ditawarkan, lalu terjadilah transaksi, dan si pembeli bisa mengambil barang yang dijual.
Di antara dalil-dalil yang menunjukkan bolehnya jual beli yang disebut pelelangan itu, yaitu:
Hadits Anas bin Malik -rodhiyallahu “anhu- yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki dari kalangan Anshar yang datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan ia meminta sesuatu kepada beliau. Beliau bertanya kepa-danya, “Apakah di rumahmu tidak ada sesuatu?” Lelaki itu menja-wab, “Ada. Dua potong kain, yang satu dikenakan dan yang lain untuk alas duduk, serta cangkir untuk meminum air.” Beliau berkata, “Kalau begitu, bawalah kedua barang itu kepadaku.” Lelaki itu datang membawanya. Rasulullah y bertanya, “Siapa yang mau membeli barang ini?” Salah seorang sahabat beliau menjawab, “Saya mau membelinya dengan satu dirham.” Beliau bertanya lagi, “Ada yang mau membelinya dengan harga lebih mahal?” Beliau menawar-kannya hingga dua atau tiga kali. Tiba-tiba salah seorang sahabat beliau yang lain berkata, “Aku mau membelinya dengan harga dua dirham.” Maka beliau memberikan kedua benda itu kepada-nya. Beliau mengambil uang dua dirham itu dan memberikannya kepada lelaki dari Anshar tersebut. Beliau berkata, “Gunakanlah yang satu dirham untuk membeli makanan dan berikan kepada keluargamu. Lalu gunakan yang satu dirham lagi untuk membeli kapak, lalu bawa kapak itu ke hadapanku.” Lelaki itu pun pergi dan kembali lagi dengan membawa sebilah kapak. Nabi meng-gunakan kapak itu untuk membelah kayu dengan tangan beliau sendiri, lalu beliau berkata, “Pergi dan carilah kayu bakar, lalu juallah. Jangan perlihatkan dirimu selama lima belas hari.” Lelaki itupun pergi mencari kayu bakar dan menjualnya. Ia pulang de-ngan membawa hasil sepuluh dirham. Uang itu ia gunakan seba-gian untuk membeli pakaian dan sebagian lain untuk membeli makanan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Ini lebih baik bagimu daripada kebiasaanmu meminta-minta itu akan menjadi bercak hitam di wajahmu pada hari Kiamat nanti. Meminta-minta itu hanya dibolehkan bagi tiga orang: orang yang terlilit kemiskinan, orang yang terlilit hutang dan orang yang menanggung diyat.” Diriwayatkan oleh Abu Daud 1641. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi 1218. Diriwayatkan oleh an-Nasai VII: 259. Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya III: 100, 114. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, beliau berkata, “Hadits ini hasan.” Inilah yang menjadi amalan para ulama.
Dan sesungguhnya kaum muslimin masih melakukan muzaayadah ini di pasar-pasar mereka tanpa ada pengingkaran. Dan sesungguhnya larangan itu hanya pada penawaran saat jual beli, sedangkan muzayadah adalah di luar jual beli.
6. Orang Kota Menjualkan Barang Orang Dusun
Hadirah (kota) adalah lawan dari badiyah (dusun). Sementara kata hadir (orang kota) adalah orang yang terbiasa tinggal di kota-kota, perkampungan modern dan sejenisnya. Sementara bady (orang dusun) adalah orang yang tinggal di pedusunan. Dusun adalah selain kota dan perkampungan maju. Kalangan Hambaliyah bahkah memahaminya secara lebih luas lagi. Mereka meng-anggap bahwa orang dusun adalah semua orang yang tinggal di pedusunan, dan juga setiap orang yang masuk ke satu desa sementara ia bukan penduduk asli desa tersebut, baik ia orang du-sun dalam arti sesungguhnya, atau orang desa, atau orang kota lain.
Arti Dari Penjualan, “Orang Kota Menjualkan Barang Kepada Orang Dusun”
Yang dimaksudkan dengan istilah orang kota menjadi calo bagi orang dusun menurut mayoritas ulama adalah orang kota menjadi calo pedagang orang dusun. Ia mengatakan kepada peda-gang dusun itu, “Kamu jangan menjual barang sendiri, saya lebih tahu tentang masalah jual beli ini.” Akhirnya si pedagang bergan-tung kepadanya, menjual barangnya dan pada akhirnya ia mema-sarkan barang dengan harga tinggi. Kalau si calo membiarkannya berjual-beli sendiri, pasti ia bisa menjual dengan harga lebih mu-rah kepada orang lain.
Ada juga yang berpendapat bahwa arti terminologi itu ada-lah: Orang kota yang menjual barang kepada orang dusun karena mencari keuntungan banyak (karena orang dusun tidak mengenal harga) sehingga membahayakan orang-orang kota itu. Namun pendapat pertama lebih tepat.
Hukum “Orang Kota Menjualkan Barang Orang Dusun”
Para ulama sependapat melarang jual beli semacam itu, karena adanya dalil-dalil shahih dan tegas yang melarangnya. Di antara dalil-dalil itu misalnya, Sabda shallallahu ‘alaihi wasallam : “Janganlah orang kota menjualkan komoditi orang dusun. Biarkan manusia itu Allah berikan rizki, dengan saling memberi keun-tungan yang satu kepada yang lain.”
Dalil lain adalah hadits Anas rodhiyallahu “anhu: “Kami dilarang untuk melakukan “penjualan orang kota bagi orang dusun”, meskipun dia itu saudaranya atau ayahnya sekalipun.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab al-Buyu”, bab: Janganlah Orang Kota Membelikan Barang Orang Dusun Sebagai Broker I: VI: 2. Diriwayatkan oleh Muslim pada bab yang sama nomor 1523.
Dalam riwayat: “Meskipun dia itu saudara satu ayah atau saudara satu ibu sekalipun..” Diriwayatkan oleh Muslim dalam bab yang sama, nomor 1523.
Dengan alasan inilah mayoritas mengharamkan “orang kota menjualkan barang orang dusun”, sementara kalangan Hanafiyah menganggapnya makruh tahrim (setingkat di atas makruh dan setingkat di bawah haram), berdasarkan madzhab mereka yang membedakan antara haram dengan makruh tahrim.
Namun pengharaman ini tidaklah menyebabkan jual beli tersebut batal, menurut mayoritas ulama. Karena keharaman itu tidak kembali kepada perjanjian atau akadnya. Karena tidak ada rukun yang hilang. Juga tidak kembali kepada komitmen per-janjian, karena syarat sahnya jual beli yang hilang. Namun keha-raman itu kembali kepada soal lain yang tidak bersifat permanen, seperti mengakibatkan kesulitan atau mengganggu orang lain. Namun kalangan Malikiyah dan Hambaliyah berpendapat bahwa perbuatan itu membatalkan dan merusak perjanjian. Imam Ahmad pernah ditanya tentang jual beli ini. Beliau menjawab, “Saya membenci itu. Saya akan membatalkan jual beli dengan cara itu.” Al-Mughni IV: 280
Di antara hal yang layak diingat adalah apa yang diriwa-yatkan oleh Imam Ahmad tentang pendapat yang menyatakan bahwa jual beli semacam itu adalah sah, bahkan tidak makruh. Beliau memahami hadits-hadits yang melarang jual beli itu bahwa semua hadits tersebut adalah di awal-awal Islam, karena pada waktu itu kehidupan ekonomi mereka amat terjepit.
Alasan Dilarangnya Penjualan ‘Orang Kota Bagi Orang Dusun’
Alasan dilarangnya jual beli ini menurut mayoritas ulama adalah karena jual beli ini berbahaya bagi para penduduk kota, dan dapat menyulitkan orang banyak. Karena kalau orang dusun itu dibiarkan saja menjual barangnya, tentu masyarakat akan bisa membelinya dengan harga murah, dan mereka juga akan merasa lapang. Adapun kalau orang kota itu menangani penjualan barang itu, dan dia hanya mau menjual dengan harga yang dipatok untuk kota tersebut, tentulah masyarakat akan merasa kesulitan.
Alasan dilarangnya jual beli ini menurut penafsiran lain adalah sisi lain yang dapat membahayakan para penduduk kota, di samping barang yang tidak bisa dibeli dengan murah, yakni langkanya barang kebutuhan. Karena terkadang para penduduk kota mengalami paceklik, mereka membutuhkan makan untuk mereka dan binatang-binatang ternak mereka. Sementara si orang kota hanya mau menjual barang-barangnya kepada penduduk dusun itu saja, dengan harapan besar akan mendapatkan keun-tungan lebih banyak.
Syarat-syarat Dilarangnya “orang kota menjualkan barang orang dusun”
Dilarangnya penjualan orang kota bagi orang dusun itu memiliki beberapa syarat. Kami singgung secara ringkas berikut ini:
Adanya kebutuhan masyarakat umum kepada barang yang ditawarkan pedagang dusun tersebut. Adapun barang yang jarang sekali dibutuhkan oleh masyarakat umum, tidaklah termasuk keumuman larangan dalam hadits.
Ketidaktahuan pedagang dusun tadi akan harga sesungguh-nya, karena kalau tidak, tentu larangan tadi tidak ada gunanya. Karena tidak ada bedanya antara si orang dusun menjualnya sen-diri, atau diurus penjualannya oleh orang kota.
Keinginan si pedagang dusun untuk menjual barangnya se-cara langsung dengan harga hari itu. Karena kalau bertujuan hendak menjualnya secara bertahap, lalu si orang kota yang mengurus penjualannya, tidak menjadi masalah. Karena pada saat itu jual beli tersebut tidak lagi membahayakan. Dan si pemilik barang juga tidak berhak lagi melarangnya mengurus dagangannya.
Meningkatnya harga barang dagangan secara bertahap dari harga jual pada saat pertama. Karena peningkatan harga itulah yang diinginkan oleh pedagang dusun dari bantuan si orang kota, sehingga mengakibatkan kesulitan masyarakat.
Hendaknya si pedagang dusun mengambil barang-barang itu untuk dijual. Kalau ia mengambilnya untuk simpanan atau untuk dikonsumsinya sendiri, lalu datang orang kota itu mendo-rong untuk menjualnya, maka ini justru memberi kelapangan, bukan menyulitkan.
Para ulama berbeda pendapat tentang saran pendapat orang kota kepada pedagang dusun untuk tidak melakukan langsung proses penjualan tersebut. Sebagian ulama membolehkan dan se-bagian lain melarang.
7. Menjual Anjing
Jual beli anjing bukanlah bisnis yang Islami. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits Ibnu Mas”ud -rodhiyallahu “anhu- telah melarang mengambil untung dari menjual anjing, melacur dan menjadi dukun.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab al-Buyu”, bab: Hasil Menjual Anjing, nomor 2237. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab al-Musaqat, bab: diharamkannya hasil menjual anjing, nomor 1567.
Dalam hadits Juhaifah diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang hasil menjual darah, anjing dan hasil usaha budak wanita..” HR. al-Bukhari
Dengan alasan ini, kalangan Syafi”iyah dan Hambaliyah menganggap tidak sah menjual anjing, anjing apapun juga, mes-kipun anjing yang sudah dilatih berburu. Sementara kalangan Malikiyah membedakan antara anjing yang boleh dipelihara, se-perti anjing buru, dan anjing penjaga, dengan anjing-anjing lain. Kelompok pertama mereka membolehkan untuk dijual, sementara selain itu tidak boleh, karena hadits:
“Rasulullah mengharamkan hasil jualan anjing, kecuali anjing buru.” (HR. An-Nasa’i).
8. Berdagang Alat-alat Musik dan Hiburan
Sudah jelas, bahwa apabila Allah mengharamkan sesuatu, tentu Allah juga mengharamkan menjualnya dan memperdagangkannya. Dengan alasan itu, mayoritas ulama mengharamkan berjualan alat-alat musik dan hiburan yang diharamkan, kecuali yang boleh digunakan (duff/rebana). Bahkan mereka secara tegas menyatakan bahwa jual beli barang-barang semacam itu tidak sah.
Sengaja diberi tambahan kriteria “yang diharamkan”, agar tidak termasuk di antaranya catur misalnya, bagi mereka yang menghalalkan. Dan agar tidak termasuk di antaranya rebana, karena boleh digunakan di saat-saat gembira dan sejenisnya. Al-Bukhari menyebutkan hadits ini dalam Shahihnya pada bab: Menabuh Rebana dalam Pernikahan dan Pesta Pernikahan. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya, dalam kitab an-Nikah, bab: Menabuh Rebana dalam Pernikahan dan Pesta Pernikahan, nomor 5147.
Dalam bab itu Imam al-Bukhari menukil hadits Rubai” binti Mu”awwidz bin Afra bahwa ia menceritakan, “Suatu hari Nabi a datang, dan menemuiku pada hari pernikahanku. Beliau duduk di atas hamparan milikku seperti Anda duduk di sisiku. Tiba-tiba datang budak-budak wanita kecil milik kami pula sambil mena-buh rebana dan bernyanyi meratapi kematian bapak-bapak kami di perang Badar. Salah seorang di antaranya berkata, “Di antara kami ada seorang Nabi yang mengetahui kejadian di hari esok.” Beliau berkata, “Jangan ucapkan kalimat itu. Namun silahkan ulangi kembali ucapan sebelumnya.”
Dengan alasan hadits ini, mayoritas ulama berpendapat akan haramnya menjual semua alat-alat hiburan dan alat-alat musik yang diharamkan. Karena semua alat-alat itu dibuat untuk per-buatan maksiat, sehingga tidak lagi bernilai dan transaksi penju-alannya batal, seperti halnya minuman keras. Karena salah satu dari syarat objek transaksi adalah harus bisa dimanfaatkan sesuai syariat, meskipun sedikit kegunaannya, seperti tanah misalnya. Diharamkannya alat-alat tersebut menggugurkan fasilitasnya yang sesuai dengan syariat, sehingga menjualnya juga haram.
9. Berjualan Ketika Dikumandangkan Adzan Jum’at
Di antara fenomena yang tidak lepas dari pandangan mata di tengah masyarakat barat adalah tersebarnya satu bentuk fenomena, yakni jual beli saat dikumandangkannya adzan Jum’at. Padahal sudah ada larangan tegas terhadap perbuatan itu dalam Kitabulla, yakni dalam firmanNya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum”at, maka bersegeralah kamu kepada meng-ingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui…” (Al-Jum”ah: 9).
Para ulama tidak berbeda pendapat sedikitpun, bahwa jual beli pada saat itu diharamkan, berdasarkan dalil ini.
Adzan yang dimaksud di sini adalah adzan yang dikumandangkan ketika khatib sudah naik mimbar (setelah khatib mengucapkan salam. Red) . Yakni adzan yang biasa dilakukan pada zaman Nabi. Itulah arti dari adzan atau panggilan bila disebutkan secara lepas. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahihnya dari as-Saib bin Yazid bahwa ia men-ceritakan, “Dahulu adzan Jum’at dikumandangkan ketika khatib sudah duduk di atas mimbar, yakni pada zaman Rasulullah, Abu Bakar dan Umar. Di masa Utsman, karena umat Islam sudah terlalu banyak, maka ditambah satu adzan lagi yang dikumandangkan di az-Zura.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab ash-Shalah, bab: Adzan di Hari Jum’at, nomor 912.
Dari sisi lain, sesungguhnya jual beli pada saat adzan diku-mandangkan ini menyebabkan seseorang melalaikan shalat, akhir-nya meninggalkan sebagiannya atau bahkan seluruhnya.
Paremeter Haramnya Jual Beli Ketika Dikumandangkan Adzan Jum’at
Diharamkannya jual beli saat dikumandangkannya adzan Jum’at tentu saja dengan beberapa paremeter tertentu. Di anta-ranya:
– Orang yang melakukan perjanjian jual beli harus orang yang tidak wajib shalat Jum’at. Maka Jual beli boleh dilakukan oleh kaum wanita, anak-anak kecil dan orang sakit. Karena Allah melarang jual beli dengan alasan memerintahkan mereka agar segera berangkat ke masjid. Orang-orang yang tidak terkena perintah itu, tentu saja tidak dilarang untuk tetap melakukan jual beli. Dan juga karena diharamkannya jual beli itu karena alasan menyibukkan diri hingga lalai shalat Jum’at. Dan alasan itu tidak mengenai diri mereka.
– Tidak dalam kondisi mendesak untuk melakukan jual beli. Seperti orang yang dalam kondisi darurat harus membeli ma-kanan, menjual kafan untuk orang mati yang dikhawatirkan akan membusuk kalau ditangguhkan. Kalau tidak dalam kondisi demikian, jual beli diharamkan pada saat itu.
– Orang yang sibuk bertransaksi tersebut sudah mengetahui larangan tersebut. Karena hukum tidak bisa diberlakukan kepada seseorang yang belum mengetahuinya.
– Jual beli itu berlangsung ketika mulai berkumandangnya adzan khutbah, atau adzan kedua.
Menganalogikan Semua Jenis Perjanjian Jual Beli dengan Jual Beli dalam Pengharaman
Mayoritas ulama berpendapat bahwa larangan terhadap jual beli pada saat adzan Jum’at berkumandang juga berlaku pada semua jenis usaha lain seperti sewa menyewa, kerjasama dagang, syuf’ah dan sejenisnya yang bisa melalaikan dari kewajiban shalat Jum’at. Bahkan mereka menegaskan larangan terhadap segala hal yang menyebabkan kelalaian terhadap shalat Jum’at, seperti me-nenun selendang, makan, menjahit, memproduksi barang, bahkan juga ibadah-ibadah lain yang menyibukkan.
Pendapat resmi dari madzhab Hambali bahwa larangan itu khusus untuk jual beli saja, karena disebutkannya larangan ter-hadap perjanjian jual beli tersebut saja. Dan bentuk kegiatan bisnis lain tidak bisa disamakan karena jarang terjadi, sehingga apabila dibolehkan tidak akan menyebabkan orang meninggalkan shalat Jum’at. Dengan demikian, tidak bisa dianalogikan dengan per-janjian jual beli.
Hukum Orang yang Wajib Shalat Jum’at Menjual Barang Kepada Orang
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa orang-orang yang tidak wajib shalat Jum’at, dikecualikan dari larangan untuk berjual-beli ketika adzan Jum’at dikumandangkan. Kalau ada dua orang yang sama-sama tidak berkewajiban shalat Jum’at melakukan perjanjian jual beli, tidak ada masalah sama sekali.
Namun kalau salah seorang di antaranya wajib shalat Jum’at sementara yang lain tidak, maka menurut pendapat mayoritas ulama keduanya berdosa. Orang yang wajib shalat Jum’at berdosa karena ia telah melakukan perbuatan terlarang. Sementara yang tidak wajib shalat Jum’at berdosa karena ia menolong orang lain berbuat dosa.
Sumber: Alsofwah.or.id